Purwakarta | portaldesa.co.id – Bupati Hj. Anne Ratna Mustika menyampaikan pesannya di Alun-alun Wanayasa saat pembukaan acara Napak Tilas dan Sholawat Akbar, yang memberikan kesan mendalam bagi Puluhan Ribu peserta Napak Tilas dan Sholawat Akbar. Pesan tersebut menekankan pentingnya berhati-hati dalam mencapai tujuan dengan kesehatan, keselamatan, dan umur yang panjang, Sabtu (29/07/2023)
Bupati Purwakarta berterima kasih kepada Pembina Gema Sunda, Rd. Ramlan Samsuri Kusuma Wijaya, yang memberikan kenang-kenangan berupa buku bertajuk Royal Padjajaran. Buku ini berisi tentang sejarah hingga tata negara, termasuk pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Ir. H. Joko Widodo.
Selain itu, Bupati Purwakarta juga berterima kasih kepada Ketua Gema Sunda, Kang Fafid Arimba, yang mengabadikan tanda tangan Bupati pada Prasasti Makom Raden Adipati Soerianata (Dalem Santri). Bupati juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh Kru dan jajaran GEMA SUNDA yang turut mensukseskan kegiatan Napak Tilas dan Sholawat Akbar bersama Forkopinda, Kepolisian, Kejaksaan, Dandim 0619, serta seluruh stakeholder perangkat daerah.
Berkat dukungan dari semua pihak dan elemen masyarakat Kabupaten Purwakarta, kegiatan Napak Tilas dan Sholawat Akbar berjalan sukses dan meriah, seperti yang diungkapkan oleh Hj. Anne Ratna Mustika.
“Alhamdulillah kegiatan Napak Tilas dan Sholawat Akbar ini berjalan sukses dan meriah berkat semua dukungan pada pihak dan seluruh elemen masyarakat Kabupaten Purwakarta, ” tutur Hj.Anne
Di kesempatan yang sama, Rd. Ramlan Samsuri Kusuma Wijaya, selaku Pembina Gema Sunda, LIN, ASGAS RI, serta pembina di beberapa organisasi lain di Indonesia, menjelaskan tentang asal usul Kabupaten Purwakarta.
Menurutnya, sejarah Purwakarta bermula dari perpindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke daerah Sindangkasih. Bupati Karawang pada masa itu, RA Suriawinata alias “Dalem Sholawat” (1829-1849), menganggap Sindangkasih lebih cocok sebagai ibukota Kabupaten.
Dan pada awal tahun 1830, Sindangkasih mulai dibangun menjadi ibukota baru Kabupaten Karawang. Sarana dan fasilitas awal yang dibangun meliputi Pendopo, Alun-alun, Masjid Agung, dan Situ Buleud. Sekitar setahun kemudian, kehidupan di Sindangkasih sudah ramai dan aman. Keadaan ini mendorong timbulnya gagasan untuk memberi nama kota baru, yang akhirnya disepakati menjadi “PURWAKARTA.”
Gagasan tersebut disampaikan oleh Asisten Residen Karawang, G. De Serier, kepada Gubernur Jenderal J. van den Bosch, dan akhirnya mendapat persetujuan. Berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 20 Juli 1831 No. 2, Purwakarta resmi menjadi ibukota (baru) Kabupaten Karawang. Meskipun begitu, nama Sindangkasih tetap digunakan sebagai nama distrik yang mencakup wilayah Purwakarta.
Purwakarta kemudian menjadi ibukota Kabupaten Karawang dari pertengahan tahun 1831 hingga 1950, meliputi tiga zaman: Zaman Penjajahan Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, dan Zaman Revolusi Kemerdekaan.
Pada Zaman Penjajahan Belanda (1831-1942), kota Purwakarta menjadi tempat kedudukan tujuh orang Bupati Karawang secara berturut-turut. Pada perkembangannya, tahun 1845, Purwakarta menjadi ibukota Keresidenan Karawang. Sejak saat itu, nama Purwakarta semakin berkembang mengikuti kebijakan bupati dan presiden.
Di pusat kota, dibangun kantor asisten residen, jalan, penjara, dan pasar. Jumlah penduduk bertambah dan menjadi heterogen dengan kehadiran sejumlah orang Belanda, Cina, dan Arab.
Pada masa kepemimpinan Bupati R.A.A Sastra Adiningrat II (1863-1886), Purwakarta semakin maju. Atas keberhasilannya dalam memajukan daerah, bupati tersebut mendapat tanda jasa berupa bintang “Rider in de Orde van den Leeuw.”
Dengan demikian, Purwakarta terus berkembang dan menjaga warisan sejarahnya yang kaya, menjadi kabupaten yang penuh makna bagi masyarakatnya, tutur Rd. Ramlan Samsuri Kusuma Wijaya. (Che)