Jakarta | portaldesa.co.id – Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung mengajukan gugatan terhadap KUHP baru ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tujuan menghapus masa percobaan 10 tahun dalam hukuman mati. Menurut mereka, masa percobaan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan menyebabkan kolusi di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Pasal 100 KUHP baru berisi aturan yang menjadi sorotan mereka. Aturan tersebut menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa dan harapan untuk memperbaiki diri, atau peran terdakwa dalam tindak pidana.
Kedua pemohon berpendapat bahwa kemungkinan terjadinya permainan dalam memberikan pernyataan penyesalan oleh terdakwa sangat tinggi. Mereka beranggapan bahwa pernyataan penyesalan ini hanya bisa dikeluarkan oleh lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan, sehingga menciptakan peluang terjadinya jual-beli surat pernyataan.
“Maka sangat dimungkinkan terjadinya jual beli surat pernyataan lapas. Dengan kemungkinan hal ini, semakin merajalela jual beli surat pernyataan lapas dan sama sekali tidak berguna penjatuhan hukuman mati bagi terdakwa,” ungkap pemohon dalam berkas permohonan mereka di website MK, Minggu (14/5/2023).
Menurut mereka, hukuman mati merupakan hukuman yang paling efektif untuk memberikan keadilan dan mencegah kejahatan serupa terulang. Mereka berpendapat bahwa rasa teror dan takut akan kehilangan nyawa akan membuat calon pelaku jera dan menciptakan kontrol dan stabilitas dalam masyarakat.
Pemohon juga mengutip hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2022 yang menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum menjadi 51,5 persen. Mereka berpendapat bahwa pasal ini juga menjadi salah satu penyebab penurunan kepercayaan publik tersebut.
“Artinya, pada aspek ini mengalami penurunan terdalam dari 57,5 persen pada Juni 2022 menjadi 51,5 persen. Survei tersebut tidak boleh dianggap remeh karena akan mempengaruhi kredibilitas ke depannya,” jelas pemohon.
Lebih lanjut, pemohon berpendapat bahwa jika aturan tersebut diterapkan pada 2026, masyarakat dapat melakukan demonstrasi besar sebagai bentuk protes terhadap keputusan yang dianggap tidak adil. Mereka khawatir bahwa negara mengubah hukuman mati menjadi pidana seumur hidup.
“Tentu saja, masyarakat semakin geram dengan hal ini. Bagaimana mungkin kejahatan yang mengancam masyarakat bisa berubah menjadi pidana seumur hidup? Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa keinginan mereka tidak didengar,” papar mereka.
Permohonan ini sudah dua kali disidangkan dan masih berlangsung di MK.(Rz)