Jakarta | portaldesa.co.id – Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Chaerul Huda, menyoroti gugatan Kejaksaan terkait kewenangan penyelidikan kasus korupsi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang menurutnya tidak memiliki dasar yang kuat. Menurut Chaerul, tidak ada pelanggaran konstitusi dalam hal ini.
“Dalam hal ini, tidak ada masalah konstitusional yang terjadi. Di mana letak masalahnya? Bertentangan dengan pasal berapa dalam UUD? Bagaimana?” kata Chaerul dalam pernyataannya pada Kamis (15/6/2023).
“Iya, memang terdapat masalah terkait kewenangan kejaksaan dalam tindak pidana korupsi, tetapi ini hanya masalah undang-undang, tidak ada masalah yang bertentangan dengan konstitusi menurut pendapat saya,” tambahnya.
Chaerul khawatir bahwa jika uji materi ini diterima oleh MK, upaya pemberantasan korupsi akan terganggu. Menurutnya, kasus-kasus korupsi di daerah memiliki nilai yang tidak sebesar kasus yang terjadi di pusat, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki kapasitas untuk menangani semuanya.
“KPK yang ada saat ini terlalu kecil untuk mengambil alih tugas yang selama ini dilakukan oleh kejaksaan. Hal ini pasti akan berdampak pada kemampuan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum. Artinya, hanya KPK dan polisi yang tersisa,” tambahnya.
Sebelumnya, seorang advokat bernama Yasin Djamaludin menggugat Undang-Undang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yasin Djamaludin meminta agar kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapuskan.
“Meminta agar Pasal 30 ayat (1) huruf d Kejaksaan Republik Indonesia dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” demikian permohonan Nurhidayat seperti yang dikutip dari situs web MK pada Minggu (12/3/2023).
Selain itu, kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 39, Pasal 44 ayat (4), dan ayat (5) yang mencakup frasa “atau kejaksaan” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga menjadi sorotan dalam gugatan tersebut.
“Meminta agar Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) yang mencakup frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang mencakup frasa ‘atau Kejaksaan’, serta Pasal 50 ayat (4) yang mencakup frasa ‘dan/atau kejaksaan’ dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” pintanya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan tanggapan terkait gugatan yang diajukan oleh advokat Yasin Djamaludin yang meminta penghapusan kewenangan Kejaksaan dalam menyelidiki dan menyidik kasus korupsi. Kejagung menilai gugatan tersebut tidak berdasar dan tidak memiliki landasan yang kuat.
“Gugatan tersebut tidak berdasar dan tidak memiliki landasan yang kuat,” kata Kapuspenkum Kejagung, I Ketut Sumedana, saat dihubungi pada Kamis (16/3/2023).
Ketut menilai gugatan tersebut salah sasaran dan terkesan mencari sensasi. Menurutnya, penggugat memiliki konflik kepentingan.
“Gugatan tersebut salah sasaran dan terkesan mencari popularitas semata, karena penggugat memiliki konflik kepentingan sehingga melancarkan gugatan tanpa pertimbangan yang matang,” ujarnya.
Selain itu, Ketut menyatakan bahwa gugatan tersebut diajukan pada waktu yang tidak tepat. Menurutnya, catatan penanganan kasus korupsi oleh Kejaksaan belakangan ini dinilai baik dan mendapatkan kepercayaan serta apresiasi tinggi dari masyarakat.
Menurut Ketut, kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, tetapi juga mencakup penanganan pelanggaran berat terkait HAM. Selain itu, jaksa juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang kehutanan.
“Jika dikaitkan dengan KUHAP yang hanya terkait dengan diferensial fungsional, hal itu jelas keliru karena kewenangan penyidikan termasuk dalam Lex Specialis. Oleh karena itu, gugatan yang diajukan bertentangan dengan prinsip hukum itu sendiri,” kata Ketut.
Ketut mengungkapkan bahwa kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan sebelum UU No. 11 Tahun 2021 telah menghadapi beberapa gugatan baik di Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK), dan selalu ditolak. Hal ini disebabkan oleh penyebaran kewenangan penyidikan yang diatur dalam berbagai undang-undang, termasuk UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK.
“Terlebih lagi, dengan adanya UU baru yang semakin memperkuat kewenangan Jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi, bahkan secara khusus memberikan kewenangan dalam pencegahan tindak pidana korupsi, gugatan tersebut semakin tidak memiliki dasar,” ujarnya.(Rz)