Jakarta | portaldesa.co.id – Novel Baswedan angkat bicara soal sikap pemerintah menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Novel menganggap langkah ini aneh dan mencurigakan.
“Ya, sikap yang aneh dan patut dicurigai kepentingan apa dibaliknya. Karena ada beberapa kejadian yang bersamaan dan saya yakin ada hubungannya”, terang Novel, Senin (12/6/2023).
Novel menyoroti gugatan MK yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang awalnya hanya menggugat batas usia pimpinan KPK. Dalam perjalanannya, Ghufron menambahkan tantangan terkait masa kepemimpinan KPK yang diperpanjang dari empat tahun menjadi lima tahun.
MK mengabulkan kedua gugatan Ghufron tersebut. Novel juga mencontohkan keputusan MK untuk memperpanjang masa jabatan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
“Soal ini beberapa kali gugatan serupa ke MK ditolak karena alasan open legal policy. Tetapi untuk hal ini diterima, bahkan putusan ultra petita yang mengubah periodisasi Dewan Pengawas dari 4 menjadi 5 tahun. Dan hal ini tidak pernah menjadi permohonan atau pokok gugatan”, ucap Novel.
“Alih-alih memperbaiki Dewas yang selama ini mengaku tidak bisa bekerja baik karena mempunyai tugas, tetapi tidak memiliki kewenangan. Tapi justru menambah waktu tanpa memperbaiki permasalahan”, jelasnya.
Menurut Novel, kesepakatan pemerintah dengan MK untuk memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri dan kawan-kawan sebagai pimpinan KPK juga bermasalah. Mantan penyidik โโKPK ini menyoroti beberapa dugaan pelanggaran etik yang melibatkan pimpinan KPK saat ini.
Novel juga menyinggung soal ketidakakuratan data yang disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (7/6). Namun, menurut Novel, pemerintah tidak memperhatikan hal itu.
“Sekitar dua hari kemudian, Menko Polhukam mengumumkan pandangan pemerintah tentang Putusan MK No 112, yang mengartikan bahwa putusan MK diberlakukan sejak Firli sehingga akan diperpanjang sampai dengan 2024. Saya tidak melihat alasan bahwa pilihan sikap untuk memandang bahwa putusan MK berlaku retroaktif adalah suatu kewajiban, tetapi itu adalah pilihan”, ujarnya.
“Barangkali pemerintah menganggap ‘mengerem/menjinakkan’ pemberantasan korupsi adalah hal yang harus dilakukan untuk saat ini. Saya menduga hal tersebut di atas saling terkait dan saya mencurigai ada pihak yang sudah mengatur sedemikian rupa agar terjadi demikian”, imbuhnya.
Novel menilai sikap pemerintah memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri dan kawan-kawan merupakan bukti konsistensi pelemahan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Bila nanti ternyata apa yang saya katakan benar, maka ini konsistensi dari pemerintah yang sejak awal tidak menghendaki pemberantasan korupsi diperkuat. Dan memberikan peluang kepada pimpinan KPK yang sanggup meremukan KPK untuk terus melakukan aksinya dan tidak mendorong dilakukan penindakan terhadap kejahatan/pelanggaran yang dilakukan”, tutur Novel.
Lebih lanjut Novel menilai, bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan yang berat.
“Saya kira setiap orang yang ingin pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan baik di negeri ini mesti bersabar. Karena awan tebal yang menyelimuti pemberantasan korupsi ternyata belum hilang”, ungkap Novel Baswedan.(Arf)