portaldesa.co.id – Ketegangan antara pedagang dan seniman atau kreator koleksi digital semakin dalam di tengah kemerosotan yang menyakitkan di pasar Non Fungible Token (NFT). NFT telah menjadi sorotan utama dalam dunia seni digital dan perdagangan, tetapi belakangan ini, hubungan antara pedagang yang mengoperasikan platform NFT dan seniman yang menciptakan karya-karya tersebut semakin rumit.
Dalam laporan yang dilansir oleh Yahoo Finance pada Selasa (8/8/2023), permasalahan tersebut mencuat dari perselisihan antara dua bursa NFT terkemuka, Blur dan OpenSea. Keduanya berupaya untuk menurunkan tarif royalti yang diberikan kepada seniman ketika kepemilikan token berubah. Motivasi di balik langkah ini adalah untuk mendorong aktivitas pembelian dan penjualan yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah.
Namun, tindakan pemotongan royalti ini telah memberikan dampak negatif pada pendapatan para kreator NFT. Sejak Januari 2022, volume perdagangan NFT mengalami penurunan drastis sebanyak 95 persen dari angka sebesar USD 17 miliar atau sekitar Rp 257,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp 15.152 per dolar AS). Pada puncaknya, pendapatan royalti mencapai USD 269 juta atau setara Rp 4 triliun pada bulan yang sama. Namun, angka tersebut merosot tajam menjadi hanya USD 4,3 juta atau setara Rp 65,1 miliar pada Juli 2023, akibat penurunan tarif royalti dari 5 persen menjadi 0,6 persen per transaksi.
Dinamika pasar semakin diperumit dengan hadirnya platform baru bernama Oktober Blur. Platform ini mengusung strategi insentif dengan memangkas tarif royalti, dan berhasil mendominasi lebih dari 70 persen volume harian pada blockchain Ethereum. Tekanan ini membuat pesaingnya, OpenSea, juga harus beradaptasi.
Pertanyaan yang muncul adalah: apa masa depan NFT? Adanya pemotongan royalti telah menggugah pertanyaan mengenai keberlanjutan dan potensi pertumbuhan sektor NFT. Ada skeptisisme yang menyatakan bahwa popularitas koleksi digital ini mungkin hanya sebagai tren sementara.
Namun, ada suara-suara optimis yang menyuarakan pandangan berbeda. Sebagai contoh, seniman terkenal seperti Michael Winkelmann, yang lebih dikenal dengan nama Beeple, meraih kesuksesan gemilang melalui koleksi NFT-nya yang bernama “Everydays.” Koleksi ini berhasil menghasilkan pendapatan sebesar USD 69,3 juta atau sekitar Rp 1 triliun pada tahun 2021. Menurutnya, sektor NFT memiliki potensi untuk kembali tumbuh.
Beberapa ahli dan pelaku industri berpendapat bahwa tarif royalti sebaiknya ditentukan secara tetap melalui perangkat lunak yang mengatur NFT, daripada menjadi variabel yang dapat diatur ulang oleh platform perdagangan. Ada pula platform seperti SuperRare dan Art Blocks yang memilih untuk mengenakan pembayaran tetap kepada pembeli, sehingga seniman tetap mendapatkan royalti yang layak.
Ketegangan antara pedagang dan seniman di sektor NFT mungkin hanya fase sementara dalam evolusi pasar ini. Dengan solusi yang tepat, seperti tarif royalti yang adil dan stabil, serta inovasi yang terus berkembang, masa depan NFT masih dapat menjanjikan peluang bagi para seniman dan pedagang untuk saling mendukung dan mencapai kesuksesan bersama dalam ekosistem digital yang semakin berkembang. (In)